Rahasia Jadi Orang Sukses ala Gede Prama
Jika
saat ini Mario Teguh diklaim sebagai pembicara termahal Indonesia maka
beberapa tahun sebelum kemunculan Mario Teguh ada satu nama orang sukses
yaitu Gede Prama yang dikenal sebagai pembicara termahal. Orang sukses
yang dijuluki resi manajemen Indonesia tergolong sukses pada usia muda.
Selain sebagai pembicara Gede Prama juga pernah jadi CEO di dunia
korporasi. Perusahaan-perusahaan besar di dalam & luar negeri kerap
menggunakan jasanya kala itu. Apa rahasia sukses orang sukses sekelas
Gede Prama???

Dari
beberapa artikel dan buku-bukunya saya coba menyimpulkan rahasia sukses
ala Gede Prama. Yang paling penting kata beliau bukan pendidikan,
pengalaman maupun keturunan, namun bagaimana kita merespons terhadap
keadaan. Ini yang menentukan apakah kita buta terhadap peluang atau
bakal menemukan “pelangi” peluang di mana-mana.
Ikhlas
berproses adalah kata kuncinya. Untuk menunjukkan diri Anda berlian
memerlukan waktu yang amat panjang, pengorbanan dan kesabaran. Motivasi
dari dalam dan mensyukuri hari ini jauh lebih berguna dibanding yang
berasal dari luar diri anda. Daya motivasi dan stimulan luar seperti
gaji, mobil, tunjangan kesehatan, dll lebih berdampak jangka pendek dan
mudah lenyap.
Orang
sukses dengan cara alami persis sama dengan bunga di gunung. Tidak ada
yang menanam, tidak ada yang memupuk apalagi menyirami. Ia menjadi apik
dari siklus alam, ia juga akan layu. Cirinya adalah indah, ikhlas, intim
dan menerima.
Terima kasih sudah membaca Rahasia Jadi Orang Sukses ala Gede Prama semoga kesuksesan menjumpai anda dalam banyak hal!!
(http://edukasi.kompasiana.com/2013/03/16/rahasia-jadi-orang-sukses-ala-gede-prama-542832.html)
Nyanyian Bambu, Renungan Gede Prama
Perjalanan
kehidupan pernah membawa pembicara, penulis dan Nyanyian-nyanyian Bambukonsultan manajemen ini
menuntut ilmu di Inggris dan Prancis dengan beasiswa. Meski pernah lama
berada di luar negeri Gede Prama tetap cinta alam dan selalu mendengar
bel kesadaran yang ada di alam. Dan kini ia memilih tinggal didesa kecil
bernama Tajun di Bali Utara. Renungan-renungan Gede Prama tentang alam
bisa kita baca pada puluhan buku-bukunya dan artikelnya di blog
pribadinya.
Salah
satu renungan Gede Prama tentang alam adalah nyanyian-nyanyian bambu
yang terdapat dalam buku pencerahan dalam perjalanan. Ini merupakan
salah satu artikel Gede Prama yang saya suka.
Konon
bambu dihutan iri dengan nasib seruling. Suaranya dikagumi oleh banyak
orang. Mendengar itu seruling pun memberikan penjelasan, hai bambu
dulunya saya juga seperti kalian. Sebelum menjadi seruling, kakiku
dipotong golok atau parang, badan dihaluskan dengan pisau tajam dan yang
paling menyakitkan dadaku dilubangi.
Perjalanan
manusia-manusia bercahaya juga kurang lebih sama dengan perjalanan sang
seruling. Tidak ada diantara mereka yang perjalanannya hanya lurus
mulus.
Banyak
anak muda yang demikian bersemangat dan bertenaga. Sekolah, kursus,
berorganisasi, mencari bea siswa dan segudang aktivitas bertenaga
lainnya. Intinya Cuma satu, bila orang lain bisa kenapa saya tidak.
Keyakinan seperti ini juga yang menyebabkan sejumlah motivator mendorong
banyak orang agar cepat kaya raya. Anthony Robbin sebagai contoh,
memberi judul karyanya dengan Awakening The Giant Within. Membangunkan
raksasa yang ada dalam diri.
Premis
orang di jalan ini jelas sekali. Pertama, tidak ada istilah tidak bisa.
Kedua, kemampuan di dalam diri sini tidak terbatas. Ketiga, lebih
tinggi kehidupan yang bisa diraih itu lebih baik. Dan ternyata, bagi
mereka yang sudah menua bijaksana akan tersenyum penuh pengertian. Dalam
kehidupan, ada yang bisa dicapai, ada yang hanya layak disyukuri. Ada
wilayah kehidupan yang bisa digedor dengan kerja dan usaha. Ada wilayah
kehidupan yang hanya menjadi milik misteri.
Sampai
di tingkatan ini melarang anak muda berusaha keras tentu bukan pilihan
yang bijaksana. Sebagaimana cemara yang sejuk di gunung, kelapa yang
bertumbuh kokoh di pantai, biarkanlah mereka bertumbuh sesuai dengan
tingkat kedewasaannya. Namun bagi yang sudah menua, selain badan sudah
berhenti berbau parfum, digantikan oleh bau minyak kayu putih, mungkin
ada gunanya mendengar nyanyian-nyanyian bambu.
Coba
perhatikan baik-baik bambu. Ia kuat dan kokoh tanpa pernah bisa dicabut
angin. Dan alasan utama kenapa bambu kuat adalah karena berakar kuat ke
dalam. Ini berbeda dengan manusia yang hidupnya lemah dan keropos,
terutama karena berakar keluar (pangkat, kekayaan). Ini memberi
inspirasi, belajarlah bertumbuh dengan berakar kedalam. Ke dalam
persahabatan dan rasa syukur atas berkah kehidupan.
Kedua,
bambu senantiasa segar di segala musim. Ini berbeda dengan kebanyakan
manusia yang hanya segar bila punya uang, naik pangkat, dipuji. Dan
karena tidak ada kehidupan yang selalu kaya dan bahagia, maka layaklah
direnungkan untuk belajar indah di setiap langkah. Kaya indah karena
banyak yang bisa dibantu dengan kekayaan. Miskin juga indah, karena
melalui kemiskinan manusia tidak perlu takut kehilangan. Naik pangkat
indah karena penuh pujian. Pensiun juga indah. Berlimpah waktu yang
tersedia untuk diamalkan.
Nyanyian
bambu yang ketiga, setelah tinggi bambu merunduk rendah hati. Siapa
saja yang setelah tinggi kemudian tinggi hati, ia sedang manabung untuk
keruntuhannya di kemudian hari. Dan puncak cerita bambu adalah ketika di
belah didalamnya kosong.
Bila
boleh jujur, kenapa banyak kehidupan mudah stres, marah, tersinggung
karena didalamnya penuh berisi. Dari harga diri, kekayaan sampai status
sosial. Sehingga jika ada yang berperilaku berbeda dari yang diharapkan,
godaan untuk marah akan mudah muncul. Dan bambu mengajarkan bahwa semua
yang hebat-hebat yang membuat manusia mudah marah suatu hari akan
berakhir dengan kekosongan.
Terima kasih sudah membaca renungan Gede Prama yang diambil dari buku pencerahan dalam perjalanan____Salam bijak palsu!
(http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/04/03/nyanyian-bambu-renungan-gede-prama-546449.html)
Lihat Kebunku
Minggu pagi, dengan ditemani kopi jahe hangat.
Aku buka lembaran koran Kompas yang tergeletak di teras rumah. Dan pada halaman 23, mataku tertuju pada sosok yang tak pernah hilang dari ingatanku, Gede Prama. Setiap kali membaca tulisan tentang Gede Prama, aku selalu membacanya lebih pelan dibanding tulisan-tulisan lainnya. Setiap kata yang mengalir
darinya, membuat merinding dan ada getaran sangat halus yang langsung menelusup ke pusat hati. Tak ingin cepat-cepat selesai membaca, dan berusaha untuk bisa terus menyelami atmosfer keheningan pada sosok Gede Prama.
Ingatanku pun tak bisa terlepas pada pertemuanku dengan Gede Prama beberapa tahun silam, di sebuah Padepokan Thaha. Tak berbeda dengan foto yang terpampang di koran Kompas, saat datang ke Padepokan Thaha itu pun, ia memakai baju yang sama, kaos warna kuning. Dua kali aku bertemu dengannya di sana, dan ia memakai baju yang sama, kaos warna kuning.
Membaca Gede Prama di koran itu, aku terheran-heran. Ia mengatakan, “Aku merasa ada clue yang disembunyikan di penjara, sehingga aku musti belajar dan datang ke sana.” Lohh…apa maksudnya? Aku tidak mengerti.
Ia melanjutkan, “Sederhana sekali. Di penjara dan juga di rumah sakit, nama Tuhan paling sering dipanggil dengan penuh kesedihan. Maaf, kalau di pura atau wihara, Tuhan selalu dipanggil dengan nada gembira. Di sini, di penjara, juga jadi tempat suci. Di situ aku mengerti, vibrasi baik tidak hanya ada di tempat ibadah, tetapi juga ada di penjara dan rumah sakit. Di penjara, mereka yang benar-benar penjahat kurang dari 10 persen. Lebih dari 90 persen adalah orang-orang innocent, yang tidak sengaja melakukan kesalahan. Bahkan ada pembunuh yang membunuh karena khilaf. Mencuri, karena ada tanggung jawab menghidupi keluarganya yang sedang kelaparan atau sekarat. Banyak dari mereka yang di penjara, menjadikan penjara sebagai tempat suci.”
Tujuh tahun yang silam, Gede Prama senantiasa belajar dan terus mencari guru. Suara-suara yang mengiang di kepalanya terus memintanya untuk berguru. Bahkan kemudian, suara-suara itu menjelma menjadi sosok. Itulah yang mengantarkannya pergi ke India bertemu Dalai Lama pada tahun 2006. Setelah menunggu dua hari, Dalai Lama mendatanginya. “Kami seperti sudah saling kenal. Dalai Lama berpesan, jika harus memilih antara agama atau menyayangi manusia, pilihlah menyayangi manusia.” kata Gede Prama menirukan perkataan Dalai Lama.
Kita semua dahaga, haus sekali. Hanya saja, ketika haus kita tidak mencari air, malah mencari lumpur, kan sakit perut. Pemuasan terhadap dahaga itu ada di dalam diri. Orang yang terpuaskan dahaganya merasa berkecukupan, no more. Ketika kita mengatakan no more, bukan berarti rezeki kita habis, melainkan tetap mengalir dengan tenang dan lancar.
Banyak yang berusaha mencari pemuasan dahaga untuk mendapatkan kebahagian. Ada beberapa tingkatan kebahagiaan. Yang terendah itu bahagia karena keinginannya terpenuhi. Itu sebentar. Dapat pekerjaan, naik gaji, punya rumah, mobil, itu sifatnya sebentar. Kebahagiaan yang lebih tinggi tatkala kita merasa berkecukupan. Kebahagiaan tertinggi jika kita mulai memasuki alam kesempurnaan. Di India misalnya, seperti Siddharta, meninggalkan istana, melepaskan seluruh materi berlimpah yang dimilikinya, untuk kemudian menjalani kehidupan spiritual.
Seperti halnya Siddharta, Gede Prama pun melakukan hal yang sama. Ia mengatakan, ” Saya tidak tertarik dengan materi. Saya ingin menemukan sesuatu di hutan, di Tajun. Aku mengerti mengapa hutan disebut forest. Itu berasal dari for dan rest, artinya wanaprasta, tempat menjalani pertapaan. Kita istirahatkan seluruh pikiran. Menemukan kebahagiaan, cinta kasih, dan keheningan di sebuah pedalaman di hutan.
Di akhir kisahnya ia menyampaikan dengan penuh rendah hati, “Hati-hati menerima dan memberi uang. Banyak orang kaya yang tidak tahu telah merusak orang baik.”
Selesai membaca kisahnya itu, pikiranku terngiang lagi dengan momen pertemuanku dengannya di Padepokan Thaha. Satu hal yang tak pernah bisa lupa, lagu anak-anak yang senantiasa ia dendangkan saat mengisi ceramah di sana. “Lihat kebunku. Penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang merah. Setiap hari kusiram semua. Mawar melati semuanya indah.”
Pesannya tentu sederhana. Kita hidup di negeri yang subur. Banyak beda suku, agama, budaya dan keyakinan. Tapi itulah kebun kita. Setiap hari disirami agar adem…segar. Hingga semua tampak indah.
Aku buka lembaran koran Kompas yang tergeletak di teras rumah. Dan pada halaman 23, mataku tertuju pada sosok yang tak pernah hilang dari ingatanku, Gede Prama. Setiap kali membaca tulisan tentang Gede Prama, aku selalu membacanya lebih pelan dibanding tulisan-tulisan lainnya. Setiap kata yang mengalir
darinya, membuat merinding dan ada getaran sangat halus yang langsung menelusup ke pusat hati. Tak ingin cepat-cepat selesai membaca, dan berusaha untuk bisa terus menyelami atmosfer keheningan pada sosok Gede Prama.
Ingatanku pun tak bisa terlepas pada pertemuanku dengan Gede Prama beberapa tahun silam, di sebuah Padepokan Thaha. Tak berbeda dengan foto yang terpampang di koran Kompas, saat datang ke Padepokan Thaha itu pun, ia memakai baju yang sama, kaos warna kuning. Dua kali aku bertemu dengannya di sana, dan ia memakai baju yang sama, kaos warna kuning.
Membaca Gede Prama di koran itu, aku terheran-heran. Ia mengatakan, “Aku merasa ada clue yang disembunyikan di penjara, sehingga aku musti belajar dan datang ke sana.” Lohh…apa maksudnya? Aku tidak mengerti.
Ia melanjutkan, “Sederhana sekali. Di penjara dan juga di rumah sakit, nama Tuhan paling sering dipanggil dengan penuh kesedihan. Maaf, kalau di pura atau wihara, Tuhan selalu dipanggil dengan nada gembira. Di sini, di penjara, juga jadi tempat suci. Di situ aku mengerti, vibrasi baik tidak hanya ada di tempat ibadah, tetapi juga ada di penjara dan rumah sakit. Di penjara, mereka yang benar-benar penjahat kurang dari 10 persen. Lebih dari 90 persen adalah orang-orang innocent, yang tidak sengaja melakukan kesalahan. Bahkan ada pembunuh yang membunuh karena khilaf. Mencuri, karena ada tanggung jawab menghidupi keluarganya yang sedang kelaparan atau sekarat. Banyak dari mereka yang di penjara, menjadikan penjara sebagai tempat suci.”
Tujuh tahun yang silam, Gede Prama senantiasa belajar dan terus mencari guru. Suara-suara yang mengiang di kepalanya terus memintanya untuk berguru. Bahkan kemudian, suara-suara itu menjelma menjadi sosok. Itulah yang mengantarkannya pergi ke India bertemu Dalai Lama pada tahun 2006. Setelah menunggu dua hari, Dalai Lama mendatanginya. “Kami seperti sudah saling kenal. Dalai Lama berpesan, jika harus memilih antara agama atau menyayangi manusia, pilihlah menyayangi manusia.” kata Gede Prama menirukan perkataan Dalai Lama.
Kita semua dahaga, haus sekali. Hanya saja, ketika haus kita tidak mencari air, malah mencari lumpur, kan sakit perut. Pemuasan terhadap dahaga itu ada di dalam diri. Orang yang terpuaskan dahaganya merasa berkecukupan, no more. Ketika kita mengatakan no more, bukan berarti rezeki kita habis, melainkan tetap mengalir dengan tenang dan lancar.
Banyak yang berusaha mencari pemuasan dahaga untuk mendapatkan kebahagian. Ada beberapa tingkatan kebahagiaan. Yang terendah itu bahagia karena keinginannya terpenuhi. Itu sebentar. Dapat pekerjaan, naik gaji, punya rumah, mobil, itu sifatnya sebentar. Kebahagiaan yang lebih tinggi tatkala kita merasa berkecukupan. Kebahagiaan tertinggi jika kita mulai memasuki alam kesempurnaan. Di India misalnya, seperti Siddharta, meninggalkan istana, melepaskan seluruh materi berlimpah yang dimilikinya, untuk kemudian menjalani kehidupan spiritual.
Seperti halnya Siddharta, Gede Prama pun melakukan hal yang sama. Ia mengatakan, ” Saya tidak tertarik dengan materi. Saya ingin menemukan sesuatu di hutan, di Tajun. Aku mengerti mengapa hutan disebut forest. Itu berasal dari for dan rest, artinya wanaprasta, tempat menjalani pertapaan. Kita istirahatkan seluruh pikiran. Menemukan kebahagiaan, cinta kasih, dan keheningan di sebuah pedalaman di hutan.
Di akhir kisahnya ia menyampaikan dengan penuh rendah hati, “Hati-hati menerima dan memberi uang. Banyak orang kaya yang tidak tahu telah merusak orang baik.”
Selesai membaca kisahnya itu, pikiranku terngiang lagi dengan momen pertemuanku dengannya di Padepokan Thaha. Satu hal yang tak pernah bisa lupa, lagu anak-anak yang senantiasa ia dendangkan saat mengisi ceramah di sana. “Lihat kebunku. Penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang merah. Setiap hari kusiram semua. Mawar melati semuanya indah.”
Pesannya tentu sederhana. Kita hidup di negeri yang subur. Banyak beda suku, agama, budaya dan keyakinan. Tapi itulah kebun kita. Setiap hari disirami agar adem…segar. Hingga semua tampak indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar