Kamis, 10 April 2014

Oase

Rahasia Jadi Orang Sukses ala Gede Prama


Jika saat ini Mario Teguh diklaim sebagai pembicara termahal Indonesia maka beberapa tahun sebelum kemunculan Mario Teguh ada satu nama orang sukses yaitu Gede Prama yang dikenal sebagai pembicara termahal. Orang sukses yang dijuluki resi manajemen Indonesia tergolong sukses pada usia muda. Selain sebagai pembicara Gede Prama juga pernah jadi CEO di dunia korporasi. Perusahaan-perusahaan besar di dalam & luar negeri kerap menggunakan jasanya kala itu. Apa rahasia sukses orang sukses sekelas Gede Prama???

13634435721131393773
Dari beberapa artikel dan buku-bukunya saya coba menyimpulkan rahasia sukses ala Gede Prama. Yang paling penting kata beliau bukan pendidikan, pengalaman maupun keturunan, namun bagaimana kita merespons terhadap keadaan. Ini yang menentukan apakah kita buta terhadap peluang atau bakal menemukan “pelangi” peluang di mana-mana.
Ikhlas berproses adalah kata kuncinya. Untuk menunjukkan diri Anda berlian memerlukan waktu yang amat panjang, pengorbanan dan kesabaran. Motivasi dari dalam dan mensyukuri hari ini jauh lebih berguna dibanding yang berasal dari luar diri anda. Daya motivasi dan stimulan luar seperti gaji, mobil, tunjangan kesehatan, dll lebih berdampak jangka pendek dan mudah lenyap.
Orang sukses dengan cara alami persis sama dengan bunga di gunung. Tidak ada yang menanam, tidak ada yang memupuk apalagi menyirami. Ia menjadi apik dari siklus alam, ia juga akan layu. Cirinya adalah indah, ikhlas, intim dan menerima.
Terima kasih sudah membaca Rahasia Jadi Orang Sukses ala Gede Prama semoga kesuksesan menjumpai anda dalam banyak hal!!

(http://edukasi.kompasiana.com/2013/03/16/rahasia-jadi-orang-sukses-ala-gede-prama-542832.html)

 

Nyanyian Bambu, Renungan Gede Prama


Perjalanan kehidupan pernah membawa pembicara, penulis dan  Nyanyian-nyanyian Bambukonsultan manajemen ini menuntut ilmu di Inggris dan Prancis dengan beasiswa. Meski pernah lama berada di luar negeri Gede Prama tetap cinta alam dan selalu mendengar bel kesadaran yang ada di alam. Dan kini ia memilih tinggal didesa kecil bernama Tajun di Bali Utara. Renungan-renungan Gede Prama tentang alam bisa kita baca pada puluhan buku-bukunya dan artikelnya di blog pribadinya. 

Salah satu renungan Gede Prama tentang alam adalah nyanyian-nyanyian bambu yang terdapat dalam buku pencerahan dalam perjalanan. Ini merupakan salah satu artikel Gede Prama yang saya suka.
Konon bambu dihutan iri dengan nasib seruling. Suaranya dikagumi oleh banyak orang. Mendengar itu seruling pun memberikan penjelasan, hai bambu dulunya saya juga seperti kalian. Sebelum menjadi seruling, kakiku dipotong golok atau parang, badan dihaluskan dengan pisau tajam dan yang paling menyakitkan dadaku dilubangi. 

Perjalanan manusia-manusia bercahaya juga kurang lebih sama dengan perjalanan sang seruling. Tidak ada diantara mereka yang perjalanannya hanya lurus mulus.
Banyak anak muda yang demikian bersemangat dan bertenaga. Sekolah, kursus, berorganisasi, mencari bea siswa dan segudang aktivitas bertenaga lainnya. Intinya Cuma satu, bila orang lain bisa kenapa saya tidak. Keyakinan seperti ini juga yang menyebabkan sejumlah motivator mendorong banyak orang agar cepat kaya raya. Anthony Robbin sebagai contoh, memberi judul karyanya dengan Awakening The Giant Within. Membangunkan raksasa yang ada dalam diri.

Premis orang di jalan ini jelas sekali. Pertama, tidak ada istilah tidak bisa. Kedua, kemampuan di dalam diri sini tidak terbatas. Ketiga, lebih tinggi kehidupan yang bisa diraih itu lebih baik. Dan ternyata, bagi mereka yang sudah menua bijaksana akan tersenyum penuh pengertian. Dalam kehidupan, ada yang bisa dicapai, ada yang hanya layak disyukuri. Ada wilayah kehidupan yang bisa digedor dengan kerja dan usaha. Ada wilayah kehidupan yang hanya menjadi milik misteri.
Sampai di tingkatan ini melarang anak muda berusaha keras tentu bukan pilihan yang bijaksana. Sebagaimana cemara yang sejuk di gunung, kelapa yang bertumbuh kokoh di pantai, biarkanlah mereka bertumbuh sesuai dengan tingkat kedewasaannya. Namun bagi yang sudah menua, selain badan sudah berhenti berbau parfum, digantikan oleh bau minyak kayu putih, mungkin ada gunanya mendengar nyanyian-nyanyian bambu. 

Coba perhatikan baik-baik bambu. Ia kuat dan kokoh tanpa pernah bisa dicabut angin. Dan alasan utama kenapa bambu kuat adalah karena berakar kuat ke dalam. Ini berbeda dengan manusia yang hidupnya lemah dan keropos, terutama karena berakar keluar (pangkat, kekayaan). Ini memberi inspirasi, belajarlah bertumbuh dengan berakar kedalam. Ke dalam persahabatan dan rasa syukur atas berkah kehidupan.
Kedua, bambu senantiasa segar di segala musim. Ini berbeda dengan kebanyakan manusia yang hanya segar bila punya uang, naik pangkat, dipuji. Dan karena tidak ada kehidupan yang selalu kaya dan bahagia, maka layaklah direnungkan untuk belajar indah di setiap langkah. Kaya indah karena banyak yang bisa dibantu dengan kekayaan. Miskin juga indah, karena melalui kemiskinan manusia tidak perlu takut kehilangan. Naik pangkat indah karena penuh pujian. Pensiun juga indah. Berlimpah waktu yang tersedia untuk diamalkan.
Nyanyian bambu yang ketiga, setelah tinggi bambu merunduk rendah hati. Siapa saja yang setelah tinggi kemudian tinggi hati, ia sedang manabung untuk keruntuhannya di kemudian hari. Dan puncak cerita bambu adalah ketika di belah didalamnya kosong. 

Bila boleh jujur, kenapa banyak kehidupan mudah stres, marah, tersinggung karena didalamnya penuh berisi. Dari harga diri, kekayaan sampai status sosial. Sehingga jika ada yang berperilaku berbeda dari yang diharapkan, godaan untuk marah akan mudah muncul. Dan bambu mengajarkan bahwa semua yang hebat-hebat yang membuat manusia mudah marah suatu hari akan berakhir dengan kekosongan.
Terima kasih sudah membaca renungan Gede Prama yang diambil dari buku pencerahan dalam perjalanan____Salam bijak palsu!

(http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/04/03/nyanyian-bambu-renungan-gede-prama-546449.html)

 

Lihat Kebunku

Minggu pagi, dengan ditemani kopi jahe hangat.
Aku buka lembaran koran Kompas yang tergeletak di teras rumah. Dan pada halaman 23, mataku tertuju pada sosok yang tak pernah hilang dari ingatanku, Gede Prama. Setiap kali membaca tulisan tentang Gede Prama, aku selalu membacanya lebih pelan dibanding tulisan-tulisan lainnya. Setiap kata yang mengalir
darinya, membuat merinding dan ada getaran sangat halus yang langsung menelusup ke pusat hati. Tak ingin cepat-cepat selesai membaca, dan berusaha untuk bisa terus menyelami atmosfer keheningan pada sosok Gede Prama.
Ingatanku pun tak bisa terlepas pada pertemuanku dengan Gede Prama beberapa tahun silam, di sebuah Padepokan Thaha. Tak berbeda dengan foto yang terpampang di koran Kompas, saat datang ke Padepokan Thaha itu pun, ia memakai baju yang sama, kaos warna kuning. Dua kali aku bertemu dengannya di sana, dan ia memakai baju yang sama, kaos warna kuning.
Membaca Gede Prama di koran itu, aku terheran-heran. Ia mengatakan, “Aku merasa ada clue yang disembunyikan di penjara, sehingga aku musti belajar dan datang ke sana.” Lohh…apa maksudnya? Aku tidak mengerti.
Ia melanjutkan, “Sederhana sekali. Di penjara dan juga di rumah sakit, nama Tuhan paling sering dipanggil dengan penuh kesedihan. Maaf, kalau di pura atau wihara, Tuhan selalu dipanggil dengan nada gembira. Di sini, di penjara, juga jadi tempat suci. Di situ aku mengerti, vibrasi baik tidak hanya ada di tempat ibadah, tetapi juga ada di penjara dan rumah sakit. Di penjara, mereka yang benar-benar penjahat kurang dari 10 persen. Lebih dari 90 persen adalah orang-orang innocent, yang tidak sengaja melakukan kesalahan. Bahkan ada pembunuh yang membunuh karena khilaf. Mencuri, karena ada tanggung jawab menghidupi keluarganya yang sedang kelaparan atau sekarat. Banyak dari mereka yang di penjara, menjadikan penjara sebagai tempat suci.”
Tujuh tahun yang silam, Gede Prama senantiasa belajar dan terus mencari guru. Suara-suara yang mengiang di kepalanya terus memintanya untuk berguru. Bahkan kemudian, suara-suara itu menjelma menjadi sosok. Itulah yang mengantarkannya pergi ke India bertemu Dalai Lama pada tahun 2006. Setelah menunggu dua hari, Dalai Lama mendatanginya. “Kami seperti sudah saling kenal. Dalai Lama berpesan, jika harus memilih antara agama atau menyayangi manusia, pilihlah menyayangi manusia.” kata Gede Prama menirukan perkataan Dalai Lama.
Kita semua dahaga, haus sekali. Hanya saja, ketika haus kita tidak mencari air, malah mencari lumpur, kan sakit perut. Pemuasan terhadap dahaga itu ada di dalam diri. Orang yang terpuaskan dahaganya merasa berkecukupan, no more. Ketika kita mengatakan no more, bukan berarti rezeki kita habis, melainkan tetap mengalir dengan tenang dan lancar.
Banyak yang berusaha mencari pemuasan dahaga untuk mendapatkan kebahagian. Ada beberapa tingkatan kebahagiaan. Yang terendah itu bahagia karena keinginannya terpenuhi. Itu sebentar. Dapat pekerjaan, naik gaji, punya rumah, mobil, itu sifatnya sebentar. Kebahagiaan yang lebih tinggi tatkala kita merasa berkecukupan. Kebahagiaan tertinggi jika kita mulai memasuki alam kesempurnaan. Di India misalnya, seperti Siddharta, meninggalkan istana, melepaskan seluruh materi berlimpah yang dimilikinya, untuk kemudian menjalani kehidupan spiritual.
Seperti halnya Siddharta, Gede Prama pun melakukan hal yang sama. Ia mengatakan, ” Saya tidak tertarik dengan materi. Saya ingin menemukan sesuatu di hutan, di Tajun. Aku mengerti mengapa hutan disebut forest. Itu berasal dari for dan rest, artinya wanaprasta, tempat menjalani pertapaan. Kita istirahatkan seluruh pikiran. Menemukan kebahagiaan, cinta kasih, dan keheningan di sebuah pedalaman di hutan.
Di akhir kisahnya ia menyampaikan dengan penuh rendah hati, “Hati-hati menerima dan memberi uang. Banyak orang kaya yang tidak tahu telah merusak orang baik.”
Selesai membaca kisahnya itu, pikiranku terngiang lagi dengan momen pertemuanku dengannya di Padepokan Thaha. Satu hal yang tak pernah bisa lupa, lagu anak-anak yang senantiasa ia dendangkan saat mengisi ceramah di sana. “Lihat kebunku. Penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang merah. Setiap hari kusiram semua. Mawar melati semuanya indah.”
Pesannya tentu sederhana. Kita hidup di negeri yang subur. Banyak beda suku, agama, budaya dan keyakinan. Tapi itulah kebun kita. Setiap hari disirami agar adem…segar. Hingga semua tampak indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar