Senin, 24 Maret 2014

Save Satinah

Bayar Diyat Rp21 M, Satinah Akhirnya Bebas dari Hukuman Pancung


Foto terkini Satinah yang diabadikan pada awal Februari 2014 di penjara kota Buraidah, Arab Saudi.
 

Alat eksekusi pancung tak jadi mengakhiri hidup seorang Satinah, tenaga kerja Indonesia (TKI) yang terbukti membunuh majikannya di Arab Saudi. Uang darah menyelamatkan nyawa TKI asal Ungaran Barat, Semarang, Jawa Tengah itu.

Uang darah atau diyat adalah kompensasi yang harus dibayar pelaku kejahatan yang masuk kategori "qisas," yaitu kejahatan terhadap hak manusia atau privat. Hukuman yang diberlakukan untuk tindak kejahatan ini adalah hukuman mati.

Nah, hukuman mati itu dapat dicabut, jika mendapat pemaafan dari ahli waris korban. Dan, ahli waris ini mendapatkan uang diyat tadi. 
Raja Arab Saudi awalnya menetapkan nilai uang diyat sebesar 500 ribu Riyal. Namun pada praktiknya, nilai tersebut berubah dan ditentukan sendiri oleh keluarga korban.

Praktik itu juga terjadi dalam kasus Satinah. Keluarga korban meminta uang darah dengan jumlah yang fantastis dibandingkan nilai yang ditentukan Raja Arab Saudi itu, yakni 7 juta Riyal atau sekitar Rp21,2 miliar. Sebetulnya, angka itupun sudah turun dari tuntutan semula, 14 juta Riyal.

"Kami sudah bersepakat untuk menutupi apa yang dituntut oleh pihak keluarga," kata Menteri Koordinator Hukum, Politik, dan Keamanan Djoko Suyanto dalam jumpa pers, Kamis 3 April 2014. Artinya, Pemerintah akan membayar Rp21 miliar itu.

Kemarin, perwakilan Pemerintah Indonesia bertemu dengan Gubernur Provinsi Qassim untuk menyampaikan komitmen tersebut karena penjara Satinah, Buraidah, ada di provinsi ini. Pemerintah berharap, tak ada lagi perubahan uang diyat dan proses penyelamatan Satinah dari pancung bisa segera dimulai.

Darimana Pemerintah mendapat uang sebanyak itu? Djoko menjawab, Pemerintah sebetulnya hanya menyiapkan 3 juta Riyal saja. Sisanya, 4 juta Riyal merupakan hasil urunan pengusaha dan donatur. "Insya Allah sekarang bisa kita selesaikan masalah saudari Satinah ini dengan baik," kata dia.

Untuk kepastian penyelesaian kasus ini, Kepala BNP2TKI yang juga ikut menangani dan memberi perkiraan waktu sekitar dua hari untuk perkembangan selanjutnya. Masih ada proses administrasi yang dilalui untuk benar-benar bisa membawa pulang Satinah dengan selamat. "Proses pengiriman uang ada proses administrasi ke bank," ucap pria yang juga pernah menjadi duta besar RI untuk Arab Saudi ini.
Jalan terjal meraih hidup
Arab Saudi, 16 Juni 2007. Kala itu, hari masih pagi saat Satinah bertengkar dengan majikannya bernama Nura Al Garib di dapur.

Pertengkaran itu bermula dari hal sepele sebetulnya bagi orang Indonesia, tapi masalah besar di Arab Saudi. Satinah berbicara dengan anak laki-laki Nura Al Garib.
Budaya Saudi memang tidak membolehkan perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim berada dalam satu ruangan yang sama. Apalagi kalau sampai kedua orang yang bukan muhrim itu berbicara.

Nura kemudian memukul kepala Satinah menggunakan penggaris. Tak cukup dengan itu, kepala Satinah dibenturkan ke dinding.

Merasa nyawanya terancam, Satinah berusaha meraih benda apapun untuk membalas penganiyaan majikannya itu. Tangan Satinah berhasil meraih kayu penggilingan adonan roti. Tak tunggu lama, dia memukul Nura. Salah satu pukulan itu mengenai tengkuk Nura Al Garib.
Sang Majikan pingsan. Keluarga yang panik kemudian melarikan Nura ke rumah sakit. Namun, nyawa perempuan tua itu tak selamat setelah sempat koma. 

Satinah kabur. Rupanya, perempuan 41 tahun itu sempat meraih tas majikannya sebelum kabur. Ada uang di dalam tas senilai SR37.970 atau Rp122 juta. Hal ini makin memperburuk nasib Satinah.

Satinah kemudian menyerahkan diri ke kantor polisi setempat dan mengakui perbuatannya. Sejak saat itu Satinah berada di Penjara Gassem.

Kemudian, dalam persidangan syariah tingkat pertama pada 2009 sampai kasasi 2010, Satinah divonis hukuman mati atas tuduhan melakukan pembunuhan berencana pada majikan perempuannya.

Awalnya Satinah direncanakan dihukum mati Agustus 2011, namun ditunda. Menurut data dari Kementerian Luar Negeri, tenggat waktu eksekusi Satinah itu sudah ditunda lima kali, yakni pada Juli 2011, 23 Oktober 2011, Desember 2012, Juni 2013, dan Februari 2014.

Terakhir, tenggat waktu itu ditentukan 3 April 2014. Sepekan sebelum tenggat waktu ini berakhir, sejumlah kelompok masyarakat Indonesia menggalang dana untuk menebus uang diyat yang diminta keluarga Nura Al Garib, yakni Rp21,2 miliar.
TKI Satinah

Pemerintah juga melobi keluarga agar mau menurunkan uang diyat menjadi 3 juta Riyal atau sekitar Rp12 miliar. Rupanya, lobi ini tak sukses. Akhirnya, Pemerintah memastikan, akan membayar semua tuntutan keluarga Nura Al Garib.

Nasib 39 TKI lainnyaSatinah kini bisa bernafas lega. Nyawanya selamat. Namun, bagaimana dengan nasib 39 TKI lainnya yang juga terancam hukuman mati di negeri penghasil minyak bumi itu.
Berbagai kasus yang melilit 39 TKI di Arab Saudi, di antaranya membunuh majikan atau membunuh sesama TKI. Kementerian Luar Negeri mencatat, ada 48 TKI yang berhasil bebas dari hukuman mati, sejak 2011 hingga saat ini.
"Namun, masih ada 39 TKI yang terancam hukuman (mati)," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu Tatang Abdul Razak, 24 Maret lalu.

Menurut dia, pemerintah diwakili petugas Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di luar negeri berupaya maksimal untuk memberi bantuan hukum kepada WNI yang terancam hukuman penjara atau mati. Namun, Indonesia tetap menghormati hukum yang berlaku di negara tujuan.

Selain Satinah, ada TKI lain bernama Siti Zainab bernasib sama. TKI asal Madura yang bekerja di Arab Saudi itu tengah menanti hukuman pancung.

Siti Zainab terancam hukuman mati sejak 1999. Setelah hampir 15 tahun dipenjara, keluarga korban bersedia memaafkan Siti Zainab, asalkan ada uang diyat sebesar Rp90 miliar. Jumlah ini, jauh lebih besar dari nilai rata-rata diyat yang ditetapkan Arab Saudi yakni berkisar Rp1-2 miliar.

Masalah diyat ini menjadi persoalan tersendiri karena angkanya terus naik. Sementara, Pemerintah tidak wajib membantu TKI bersangkutan untuk membayarkan diyat itu. (eh)

http://fokus.news.viva.co.id/news/read/493913-bayar-diyat-rp21-m--satinah-akhirnya-bebas-dari-hukuman-pancung

Jelang Eksekusi Mati Satinah, PNS Semarang Kumpulkan Uang Diyat

Surat edaran sudah dikirim kepada seluruh kepala dinas di Semarang.


Aksi galang dana untuk Satinah


VIVAnews - Menjelang eksekusi Satinah, tenaga kerja wanita yang divonis hukuman mati, memancing sejumlah pihak yang peduli terhadap nasib Satinah. Setelah lima kali penundaan, dia akan dieksekusi pada 3 April 2014.

Meski berkejaran dengan waktu menghimpun kekurangan dana tebusan atau uang diyat yang diminta keluarga korban, para PNS di Pemerintah Kabupaten Semarang, diminta menyisihkan dana untuk menolong Satinah yang merupakan warga asal Kalisidi, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Semarang Budi Kristiono mengaku,  mencoba menggalang dana untuk Satinah dari seluruh PNS yang ada di lingkungan Pemerintah Kabupaten Semarang.

"Kami sudah membuat surat edaran, suratnya kami kirim ke semua kepala dinas. Dana yang terkumpul akan kami salurkan melalui rekening pemerintah provinsi," kata Budi, Selasa 25 Maret 2014.

Guna mengoptimalkan dana, Pemkab Semarang juga mengajak Asosiansi Pengusaha Indonesia (APINDO) di Kabupaten Semarang untuk turut dalam aksi penggalangan dana Satinah.

"Kami juga meminta agar Apindo mau turut serta menghimpun dana dari semua buruh yang ada di Kabupaten Semarang. Surat imbauan ke Apindo juga sudah dikirim kemarin. Apapun Satinah ini adalah saudara kita," kata Budi.

Berhitung mundur dalam tenggat waktu yang diberikan keluarga eks Majikan Satinah, TKW asal Dusun Mrunten, Desa Kalisidi, Ungaran Barat, Jawa Tengah, mempunyai waktu kurang dari sepuluh hari untuk lolos dari hukuman pancung.

Satinah sudah mendapatkan lima kali penundaan pelaksanaan eksekusi hukuman mati. Sesuai vonis pengadilan, Satinah dieksekusi Agustus 2011, lalu diundur pada Desember 2011, Desember 2012, Juni 2013, Februari 2014 dan 3 April 2014.

Menurut Wakil Menteri Luar Negeri Wardana, bila eksekusi terhadap Satinah jadi dilakukan, maka uang diyat yang telah ditransfer ke Pengadilan Buraidah sebesar Rp12,1 miliar akan dikembalikan. Dana itu akan digunakan untuk mendanai pendidikan putri semata wayang Satinah, Nur Afriana.

Wardana menambahkan, sejak awal dana yang diberikan para donatur telah diikhlaskan bagi keluarga Satinah.  "Untuk pendidikan putri Satinah," ungkap Wardana.

Kendati nasib Satinah kini berada di ujung tanduk, Wardana menambahkan, pemerintah tidak tinggal diam. Dia menyebut, pemerintah kini fokus pendekatan pada pihak keluarga korban.

"Pendekatan yang cukup intensif juga dilakukan kepada tokoh-tokoh yang ada di Saudi," imbuh Wardana.

Dia mengatakan kunci kasus ini, terletak kepada keluarga korban, apakah bersedia menerima uang diyat sebesar SR4 juta atau Rp12,1 miliar yang telah disediakan oleh Pemerintah RI atau tidak.

Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri, Tatang Budie Utama Razak menambahkan, memenuhi nominal uang diyat sebesar SR7 juta atau Rp21,3 miliar, yang dituntut oleh pihak keluarga korban bukan hal yang sulit. Tetapi, permasalahannya, bukan masalah sanggup atau tidak sanggup mengumpulkan dana tersebut.

"Kita semua harus memikirkan rasa keadilan. Kami tidak bisa selalu mengambil dana dari APBN. Itu yang harus diperhatikan," katanya. (umi)


© VIVA.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar