Memaafkan adalah Keteladanan
Namun demikian, bukan perkara maupun kedua pelaku pembunuhan Ahmad Imam Al Hafitd alias Hafiz dan Assyifa Ramadhani Sulaiman alias Syifa yang tega membunuh rekan sebayanya hanya karena alasan sepele. Kasus yang menjadi pembicaraan banyak kalangan itu makin mengemuka lantaran sikap terkesan berlawanan arah dari kelaziman kedua orang tua Ade Sara, Suroto dan Elizabeth Diana. Bukannya mengecam penuh amarah dan dendam, kedua orang tua itu justru memaafkan kedua pelaku.
Karuan saja, sikap yang amat langka seperti itu menuai banyak pujian. Mari menyimak catatan salah seorang penulis di laman Kompasiana, Tri Hatmoko. Sikap memaafkan, dalam pandangan Tri Hatmoko adalah jalan sepi. Artinya, boleh jadi, tak banyak orang yang berani mengambil jalan seperti itu.
Tri Hatmoko mengatakan juga dalam tulisannya kalau jalan sepi itu ternyata berujung terang. Jalan iman akan kehidupan kekal.

Sejatinya, tayangan berdurasi sekitar 15 detik itu berisi potongan video pemakaman Ade Sara. Selain acara tabur bunga, ada juga video saat peti jenazah dimasukkan ke liang kubur. Lagu "Saat Terakhir" dari grup band ST12 menjadi ilustrasi.
Tak hanya itu, pada video itu, ada pula potongan testimoni dari Elizabeth Diana. "Mengampuni pelaku. Ketika saya melakukan hal itu, ada keikhlasan yang saya rasakan,"begitu kata Elisabeth.
Saat menyaksikan video itu, memang ada berbagai rasa berkecamuk. Arswendo mengaku kalau dirinya tidak bisa menerima alasan pembunuhan. "Makanya, saya menulis di kolom saya dengan marah-marah," aku pria berambut gondrong itu.
Sama seperti Arswendo, Irwan Hidayat yang makin penasaran dengan pernyataan kedua orang tua almarhumah Ade Sara itu malahan memberanikan diri datang ke rumah duka di bilangan Jalan Layur, Rawamangun, Jakarta Timur. "Saya ingin berfoto dengan mereka yang bisa memaafkan,"tutur Irwan sembari menambahkan kalau ide membuat iklan layanan masyarakat itu justru datang dari para jurnalis yang kebetulan berjumpa dengannya di rumah duka tersebut.
Irwan mengaku, keheranannya makin bertambah. Soalnya, dalam pengamatannya, ada 20 kasus pembunuhan yang terjadi selang setahun ke belakang. "Tapi, hanya satu kasus yang korbannya memaafkan pelaku. Ya kasus Ade Sara ini," katanya lagi.
Berangkat dari rasa itulah, Irwan mengaku ikut tertular berpikir positif. "Saya membuat iklan ini untuk melanjutkan ingatan masyarakat tentang nilai terbaik kalau nanti berita tentang Ade Sara hilang di media massa," aku Irwan.
Secara tegas pula, Irwan mengatakan kalau Suroto dan Elizabeth Diana tidak ingin mendapat bayaran dari iklan layanan masyarakat tersebut. "Sebetulnya, saya enggak kuat untuk melihat. Tapi, bukan berarti saya enggak mau melihat. Karena, kenangan itu pasti akan ada di dalam pikiran saya seumur hidup saya. Tapi, saya setuju iklan ini ditayangkan," demikian Elizabeth Diana menyampaikan pesannya.
Hingga Kompas.com mengunggah tulisan ini, iklan layanan masyarakat bertajuk "memaafkan" itu memang belum tayang di media massa. Walau, lebih banyak kata "setuju" ketimbang "tak setuju" saat diskusi rampung, malam itu.
http://edukasi.kompas.com/read/2014/03/20/1924449/Memaafkan.adalah.Keteladanan
Pembawa-Pembawa Cahaya

Ketidakpastian
cuaca di mana-mana, konflik di banyak tempat yang tidak menunjukkan
tanda-tanda berakhir, korupsi yang menyedihkan, bunuh diri dan
perceraian yang menaik terus, WHO bahkan meramalkan tahun 2020 sakit
mental akan sangat mengkhawatirkan, semua ini menunjukkan tanda-tanda
kegelapan yang mengkhawatirkan. Tanpa lahirnya pembawa-pembawa cahaya,
masa depan akan sangat menyedihkan.
Sahabat Pertumbuhan
Di dunia spiritual khususnya, ada banyak
pencinta kebaikan yang sangat bermusuhan dengan kegelapan. Pabrik rokok,
pabrik plastik, pabrik alkohol, pabrik sabun, pabrik shampo, pabrik
kertas, pabrik senjata, koruptor, politisi korup dan masih banyak lagi
musuh-musuh yang lain. Sebagai hasilnya, niat kebaikan yang indah tidak
berujung pada hati yang indah. Sebaliknya, kebaikan membuat hati
seseorang jadi demikian kotor karena kebencian.
Kepada sahabat-sahabat jenis ini, kerap
disegarkan ingatannya, menjadi baik tidak berarti bermusuhan dengan
kegelapan. Kegelapan mungkin bermusuhan dengan kebaikan, tapi kebaikan
tidak bermusuhan dengan siapa-siapa. Kebaikan serupa seorang Ibu dengan
banyak sekali anak-anak. Pengandaian lain, serupa berjumpa harimau dan
singa yang ganas, berkelahi dengan mereka pasti berujung celaka. Tapi bila mereka didekap, dirawat, disayangi, kemudian ada kemungkinan mereka menuruti kehendak kita.
Dari segi asal muasal kata, devil (kejahatan) berasal dari kata divine (kesucian). Terutama karena kejahatan adalah kesucian yang sedang berevolusi (devil is an evolving divine).
Jadi, ada bibit kesucian dalam kejahatan. Ia mirip dengan kotoran
kucing. Baunya memang tidak enak. Tapi bila diletakkan di bawah pohon
bunga, suatu waktu ia jadi bunga yang indah. Lebih mudah menerangi
kegelapan dengan menempatkan mereka sebagai sahabat pertumbuhan,
dibandingkan menempatkan mereka sebagai musuh yang mesti dibasmi.
Cahaya Di Dalam
Sebagaimana cahaya listrik, cahaya muncul
sebagai hasil sintesa positif-negatif, bukan lahir dari kemarahan untuk
membuang yang negatif. Itu sebabnya, meditasi tidak menendang yang
negatif serta menggenggam yang positif. Meditasi hanya menyaksikan.
Sedih-bahagia, tragedi-komedi, dicerca-dipuja semuanya hanya disaksikan
dengan senyuman. Istilah aslinya, menjadi saksi yang penuh dengan kasih
sayang (compassionate witness).
Sebagai hasilnya, seseorang akan mengalami kedamaian mendalam. Batin damai menyerupai kolam tenang. Dari kolam yang tenang ini, kemudian tumbuh bunga lotus pengertian. Isitilah aslinya pandangan terang (insight).
Di tingkatan ini, mengerti kehidupan mirip dengan membaca buku. Bila
bukunya terlalu jauh (karena ditendang) maka tidak bisa dibaca, jika
bukunya terlalu dekat (karena digenggam) juga tidak bisa dibaca.
Menyaksikan membuat seseorang bisa menjaga jarak yang tepat sehingga
bisa “membaca” kehidupan.
Setelah lama bisa membaca
kehidupan, kemudian ada kemungkinan lahirnya cahaya di dalam. Ciri
utamanya, ada sampah dalam bunga, ada bunga dalam sampah. Ada kesedihan
dalam kebahagiaan, ada kebahagiaan dalam kesedihan. Ini mirip dengan
cahaya listrik, yang negatif bukan musuh yang mesti ditendang, yang
positif bukan kawan yang mesti digenggam. Para sahabat meditasi yang
sudah sampai di sini, kerap diberi gelar S 3 (senyum senyum saja).
Senyum karena sudah mengerti dan mengalami, semua adalah tarian
kesempurnaan yang sama.
Matahari Terbit Kasih Sayang
Sebagaimana madu yang alaminya manis, batin
yang lama tenang, kemudian melahirkan cahaya pengertian, secara alamiah
akan penuh dengan kasih sayang. Itu sebabnya, Bunda Teresa, Nelson
Mandela, Mahatma Gandhi, Jalaluddin Rumi, Mahatma Gandhi, YM Dalai Lama
semuanya penuh dengan kasih sayang. Awalnya batin yang tenang. Kemudian
tumbuh bunga lotus pengertian. Bunga lotus inilah yang menyebarkan aroma
kasih sayang.
Dan sebagaimana matahari terbit yang membuat
pagi hari jadi terang dan hangat, kasih sayang ini membuat kehidupan
jadi terang dan hangat. Meminjam keteladanan Nelson Mandela, kehidupan
boleh mengambil apa saja, tapi jangan biarkan kehidupan mengambil hati
yang baik. Mengulangi pesan YM Dalai Lama, bila harus memilih antara
agama dan kasih sayang pilih kasih sayang.
Gabungan antara cahaya di dalam yang sudah
mulai menyala karena meditasi, dengan terbitnya matahari kasih sayang,
keduanya kemudian membuat seseorang menjadi pembawa cahaya. Tidak perlu
sehebat Nelson Mandela atau YM Dalai Lama yang menerima hadiah Nobel
Perdamaian, cukup menjadi lentera penerang di lingkungan masing-masing.
Dalam bahasa Bunda Teresa, bila mau berkontribusi pada kedamaian dunia,
pulang ke rumah sayangi keluarga.
(Posted by: gedeprama)
Salah satu jenis film tontonan yang kerap saya lihat dulu ketika berumur masih amat muda, adalah perjalanan sejumlah orang mencari harta karun di tempat yang amat jauh. Menarik, seru dan menegangkan, itulah alasan kami ketika itu duduk di bioskop atau di depan tv ber jam-jam.
Menarik, karena menghadirkan pengalaman perjalanan yang disertai pemandangan daerah pedalaman yang indah. Seru, sebab disertai adegan-adegan yang susah ditebak arahnya. Menegangkan, terutama karena serangkaian tantangan berat senantiasa menghadang di depan mata.
Ketika itu, tidak pernah terbayangkan sedikitpun kalau perjalanan hidup ini amat serupa dengan perjalanan mencari harta karun. Menarik, tentu saja karena pemandangan-pemandangan yang hadir di depan mata demikian bervariasi. Demikian menarik dan asiknya, sampai-sampai ada banyak sekali orang yang tidak sadar kalau satu tahun sudah berlalu. Atau tiba-tiba baru sadar kalau umur sudah tua, terutama setelah melihat putera-puteri beranjak dewasa. Disamping mengasikkan, ada tidak sedikit manusia yang amat takut kematian. Apa lagi sebabnya kalau bukan karena daya tarik sang hidup yang demikian memikat. Disamping menarik, perjalanan sang hidup juga seru, sebab tidak jarang terjadi kita harus ‘berperang’ dengan banyak kekuatan. Ada perang melawan diri sendiri, ada perang melawan ketidakjujuran, ada perang melawan ketertindasan, dan masih banyak lagi perang lainnya. Dan terakhir tentu saja juga menantang, secara lebih khusus karena tidak seorangpun tahu bagaimana persisnya wajah masa depan. Tiba-tiba tanpa persiapan memadai ia hadir di depan mata.
Bedanya, kalau dalam film-film di atas, jelas dan tegas harta karunlah yang digunakan sebagai sasaran buruan. Dalam perjalanan kehidupan, sasaran buruannya disamping berbeda dari satu orang ke orang yang lain, juga bergerak dan berubah sejalan dengan kedalaman renungan masing-masing.
Ada memang sekumpulan manusia yang seluruh hidupnya hanya digunakan mencari harta dan tahta. Dan bahkan sampai di ujung kehidupanpun masih menangisi harta yang ditinggalkan. Di bagian lain, ada juga manusia yang sama sekali tidak perduli akan harta dan tahta. Satu-satunya yang ia perdulikan hanyalah perjalanan menuju Tuhan. Di antara dua kutub ekstrim ini, kadang ada sisa-sisa renungan yang tercecer. Sekaligus menghadirkan pertanyaan mendasar, apakah yang kita cari dalam perjalanan hidup yang demikian melelahkan ini ?
Bagaimana tidak melelahkan, saya menghabiskan hampir dua puluh tahun duduk di bangku sekolah formal. Bergelut dengan kehidupan kerja hampir enam belas tahun. Berkelana dalam kehidupan pernikahan yang banyak godaan telah delapan belas tahun. Tidak sedikit di antaranya diwarnai air mata kesedihan, perang hati nurani, bahkan kadang mengancam nyawa. Dalam rangkaian perjalanan seperti ini, sangat layak kalau bertanya ulang, apa yang kita cari ?
Entah sampai di tataran pemahaman mana perjalanan Anda sejauh ini, tetapi semakin saya selami dan dalami, semakin saya tahu kalau hidup adalah sebuah perjalanan ke dalam diri. Berbeda dengan harta karun yang harus kita cari, dan membawa kemungkinan terbukanya sebuah penemuan, harta karun kehidupan ada pada proses belajar. Ya sekali lagi ada pada proses belajar. Bukan pada tujuan akhirnya. Ini penting untuk dipahami dan didalami, karena perjalanan menemukan diri sendiri adalah sejenis perjalanan yang tidak mengenal garis finish.
Karena tidak ada titik akhirnya inilah, maka saya menaruh banyak hormat kepada sejumlah pilosopi timur yang menekankan pentingnya hidup di hari ini (living in the now). Tidak sekadar hidup berfoya-foya dan menghabiskan kenikmatan tentunya. Melainkan, hidup penuh kesadaran dan rasa syukur. Pada kesempatan lain, saya memang pernah mengutip tingkatan-tingkatan manusia ala seorang sahabat pengusaha. Dari manusia bodoh, pintar, licik sampai dengan manusia beruntung. Dan konon manusia beruntunglah yang tidak bisa dikalahkan oleh manusia licik.
Bercermin pada pentingnya hidup penuh kesadaran di hari ini, ada manusia yang lebih berbahagia dibandingkan manusia yang beruntung, yakni manusia yang tidak lagi terikat pada apapun. Ketika dipuja karena berada di atas, ia yakin harta dan tahtalah yang dipuja orang. Tatkala dihina karena jatuh ke lumpur kehidupan, ketiadaan harta dan tahta yang membuatnya jadi demikian. Dengan kata lain, diri ini yang sebenarnya tidaklah pernah disentuh pujian dan makian. Oleh karena itu, kenapa mesti gembira ketika dipuji dan menangis ketika dimaki ? Demikianlah pilihan sikap manusia-manusia langka yang sudah bebas dari keterikatan.
Tidak ada satu kekuatanpun yang bisa mendikte orang jenis terakhir. Ketika sibuk dalam kerja ia menikmati kerjanya dengan suka cita. Tatkala PHK menghadang ia habiskan waktunya untuk belajar pilosopi dan agama. Mana kala anak-anak masih kecil, kita ajak mereka hidup dalam tawa dan canda. Dan bila mereka sudah besar dan mandiri, kalau dibantu hidup syukur, kalau tidak dibantu bisa jadi jalan hidup sudah seperti itu.
Dalam hidup yang tidak lagi dibelenggu keterikatan, yang ada hanyalah kebebasan dan keikhlasan di depan Tuhan. Entah Anda setuju entah tidak, sampai dengan perjalanan hidup saya sekarang, inilah berkah dan harta karun terbesar yang pernah diberikan ke saya. Dengan kerendahan hati di depan Tuhan, saya hanya bisa berucap lirih : ‘terima kasih Tuhan !’ (Oleh: Gede Prama)
http://www.harisworld.netii.net/download/inspiration/gedeprama/Gede%20Prama%20Motivasi%20Menemukan%20Harta%20Karun%20Termahal.htm
Menemukan Harta Karun Termahal
Salah satu jenis film tontonan yang kerap saya lihat dulu ketika berumur masih amat muda, adalah perjalanan sejumlah orang mencari harta karun di tempat yang amat jauh. Menarik, seru dan menegangkan, itulah alasan kami ketika itu duduk di bioskop atau di depan tv ber jam-jam.
Menarik, karena menghadirkan pengalaman perjalanan yang disertai pemandangan daerah pedalaman yang indah. Seru, sebab disertai adegan-adegan yang susah ditebak arahnya. Menegangkan, terutama karena serangkaian tantangan berat senantiasa menghadang di depan mata.
Ketika itu, tidak pernah terbayangkan sedikitpun kalau perjalanan hidup ini amat serupa dengan perjalanan mencari harta karun. Menarik, tentu saja karena pemandangan-pemandangan yang hadir di depan mata demikian bervariasi. Demikian menarik dan asiknya, sampai-sampai ada banyak sekali orang yang tidak sadar kalau satu tahun sudah berlalu. Atau tiba-tiba baru sadar kalau umur sudah tua, terutama setelah melihat putera-puteri beranjak dewasa. Disamping mengasikkan, ada tidak sedikit manusia yang amat takut kematian. Apa lagi sebabnya kalau bukan karena daya tarik sang hidup yang demikian memikat. Disamping menarik, perjalanan sang hidup juga seru, sebab tidak jarang terjadi kita harus ‘berperang’ dengan banyak kekuatan. Ada perang melawan diri sendiri, ada perang melawan ketidakjujuran, ada perang melawan ketertindasan, dan masih banyak lagi perang lainnya. Dan terakhir tentu saja juga menantang, secara lebih khusus karena tidak seorangpun tahu bagaimana persisnya wajah masa depan. Tiba-tiba tanpa persiapan memadai ia hadir di depan mata.
Bedanya, kalau dalam film-film di atas, jelas dan tegas harta karunlah yang digunakan sebagai sasaran buruan. Dalam perjalanan kehidupan, sasaran buruannya disamping berbeda dari satu orang ke orang yang lain, juga bergerak dan berubah sejalan dengan kedalaman renungan masing-masing.
Ada memang sekumpulan manusia yang seluruh hidupnya hanya digunakan mencari harta dan tahta. Dan bahkan sampai di ujung kehidupanpun masih menangisi harta yang ditinggalkan. Di bagian lain, ada juga manusia yang sama sekali tidak perduli akan harta dan tahta. Satu-satunya yang ia perdulikan hanyalah perjalanan menuju Tuhan. Di antara dua kutub ekstrim ini, kadang ada sisa-sisa renungan yang tercecer. Sekaligus menghadirkan pertanyaan mendasar, apakah yang kita cari dalam perjalanan hidup yang demikian melelahkan ini ?
Bagaimana tidak melelahkan, saya menghabiskan hampir dua puluh tahun duduk di bangku sekolah formal. Bergelut dengan kehidupan kerja hampir enam belas tahun. Berkelana dalam kehidupan pernikahan yang banyak godaan telah delapan belas tahun. Tidak sedikit di antaranya diwarnai air mata kesedihan, perang hati nurani, bahkan kadang mengancam nyawa. Dalam rangkaian perjalanan seperti ini, sangat layak kalau bertanya ulang, apa yang kita cari ?
Entah sampai di tataran pemahaman mana perjalanan Anda sejauh ini, tetapi semakin saya selami dan dalami, semakin saya tahu kalau hidup adalah sebuah perjalanan ke dalam diri. Berbeda dengan harta karun yang harus kita cari, dan membawa kemungkinan terbukanya sebuah penemuan, harta karun kehidupan ada pada proses belajar. Ya sekali lagi ada pada proses belajar. Bukan pada tujuan akhirnya. Ini penting untuk dipahami dan didalami, karena perjalanan menemukan diri sendiri adalah sejenis perjalanan yang tidak mengenal garis finish.
Karena tidak ada titik akhirnya inilah, maka saya menaruh banyak hormat kepada sejumlah pilosopi timur yang menekankan pentingnya hidup di hari ini (living in the now). Tidak sekadar hidup berfoya-foya dan menghabiskan kenikmatan tentunya. Melainkan, hidup penuh kesadaran dan rasa syukur. Pada kesempatan lain, saya memang pernah mengutip tingkatan-tingkatan manusia ala seorang sahabat pengusaha. Dari manusia bodoh, pintar, licik sampai dengan manusia beruntung. Dan konon manusia beruntunglah yang tidak bisa dikalahkan oleh manusia licik.
Bercermin pada pentingnya hidup penuh kesadaran di hari ini, ada manusia yang lebih berbahagia dibandingkan manusia yang beruntung, yakni manusia yang tidak lagi terikat pada apapun. Ketika dipuja karena berada di atas, ia yakin harta dan tahtalah yang dipuja orang. Tatkala dihina karena jatuh ke lumpur kehidupan, ketiadaan harta dan tahta yang membuatnya jadi demikian. Dengan kata lain, diri ini yang sebenarnya tidaklah pernah disentuh pujian dan makian. Oleh karena itu, kenapa mesti gembira ketika dipuji dan menangis ketika dimaki ? Demikianlah pilihan sikap manusia-manusia langka yang sudah bebas dari keterikatan.
Tidak ada satu kekuatanpun yang bisa mendikte orang jenis terakhir. Ketika sibuk dalam kerja ia menikmati kerjanya dengan suka cita. Tatkala PHK menghadang ia habiskan waktunya untuk belajar pilosopi dan agama. Mana kala anak-anak masih kecil, kita ajak mereka hidup dalam tawa dan canda. Dan bila mereka sudah besar dan mandiri, kalau dibantu hidup syukur, kalau tidak dibantu bisa jadi jalan hidup sudah seperti itu.
Dalam hidup yang tidak lagi dibelenggu keterikatan, yang ada hanyalah kebebasan dan keikhlasan di depan Tuhan. Entah Anda setuju entah tidak, sampai dengan perjalanan hidup saya sekarang, inilah berkah dan harta karun terbesar yang pernah diberikan ke saya. Dengan kerendahan hati di depan Tuhan, saya hanya bisa berucap lirih : ‘terima kasih Tuhan !’ (Oleh: Gede Prama)
http://www.harisworld.netii.net/download/inspiration/gedeprama/Gede%20Prama%20Motivasi%20Menemukan%20Harta%20Karun%20Termahal.htm
Kidung kasih sayang
Happiness, Joy, Bliss

Bila boleh jujur, cerita Nasrudin adalah
cerita kebanyakan orang. Mencari-cari kebahagiaan di luar, padahal
kebahagiaan sesungguhnya ada di dalam. Miliaran manusia mencoba
menemukan kebahagiaan dengan cara mengejar makanan, hiburan, pujian,
pariwisata. Dan semua yang mengejar kebahagiaan di luar itu tersesat
entah ke mana.
Bagi yang sudah kelelahan mengejar ke luar kemudian mengerti,
kebahagiaan dimulai dari sebuah bibit yang bernama berkecukupan. Tanpa
bibit berkecukupan, semua pencaharian kebahagiaan akan berputar-putar
tanpa ujung. Dan energi di dalam yang bisa menanam bibit berkecukupan
bernama rasa syukur yang mendalam. Lihat sisi-sisi berkah dari
kehidupan, di sanalah rasa syukur kerap bersembunyi.Bibit berkecukupan ini kemudian dirawat dan dipelihara di sebuah taman yang bernama cinta kasih. Sebelum cinta kasih itu memancar ke luar, ia sebaiknya dipancarkan ke dalam lebih dulu. Memancarkan cinta kasih pada kesialan, kekurangan, kecelakaan, ketidaksempurnaan yang pernah terjadi. Ingat selalu, tidak ada kebetulan, semuanya hanya bimbingan-bimbingan. Fokus pada bimbingan bukan pada hukuman.
Suka Cita
Bila bibit berkecukupan di dalam sudah
dirawat baik di taman cinta kasih, kemudian ia bisa bertumbuh menjadi
pengalaman yang penuh suka cita (joy). Kebahagiaan adalah sebentuk rasa
di dalam tatkala sebagian keinginan terpenuhi, tapi suka cita jauh lebih
dalam. Ia adalah sebuah kilatan cahaya bahwa jiwa melihat arah pulang.
Rasa sakit, penderitaan, dukacita adalah bel suci yang menunjukkan
bahwa jiwa hidup terlalu jauh dari rumah. Bel ini juga yang memberikan
tanda di mana rumah sesungguhnya berada. Banyak orang yang mencarinya di
tempat suci atau orang suci. Sehebat-hebatnya tempat suci dan orang
suci, keduanya hanya bisa memberi tahu tentang ajaran suci yang mesti
dibadankan.Tatkala ajaran suci seperti cinta kasih, kebaikan, kasih sayang dilaksanakan secara mendalam, kemudian ada kilatan cahaya tentang rumahnya jiwa. Tandanya sederhana, semakin dekat jiwa dengan rumah sesungguhnya, semakin damai rasanya di dalam. Semakin dekat jiwa dari rumah, semakin banyak bunga cinta yang mekar di dalam. Semakin dekat jiwa dari rumah, semakin tidak tertarik seseorang untuk mengejar ke luar.
Bliss
Salah satu ajaran mendalam tentang pulangnya
jiwa adalah Tantra. Dan simbol sakral yang kerap dipakai di Tantra
adalah seks. Meminjam hasil penelitian sejumlah psikolog yang mendalami
seks seperti Delgado, orgasme sebagai puncak pengalaman seksual adalah
serangkaian pengalaman yang sepenuhnya ada di dalam. Persisnya, ia
terjadi di pusat seks di otak. Bagi wanita, ia terjadi di belahan otak
kanan, bagi pria ia terjadi di otak kiri.
Ini menjadi salah satu bukti ilmiah tentang kebahagiaan, sukacita
yang sesungguhnya ada di dalam. Di tingkat kebahagiaan, orgasme berarti
terpenuhinya sebagian keinginan, atau di tingkatan kebahagiaan lebih
dalam ia berarti rasa berkecukupan yang mendalam. Di tingkat sukacita,
orgasme adalah kilatan cahaya tentang rumahnya jiwa. Kapan saja unsur
maskulin dan feminin menyatu di satu jiwa di sana kilatan cahaya muncul.
Di Yunani disebut anima-animus, di China disebut Yin-Yang, di Bali
disebut lingga-yoni.Dan bliss (anandam), ia berada jauh di atas keinginan, ia bukan sekadar kilatan cahaya, tapi sang Cahaya itu sendiri. Bila di tingkatan kebahagiaan yang mengalami orgasme adalah pusat seks di otak, di tingkatan sukacita orgasme hanya kilatan cahaya petunjuk jalan pulang, di tingkatan bliss yang mengalami orgasme adalah Sang Saksi. Ia bukan di otak kanan, bukan di otak kiri. Sang Saksi berada melampaui ruang dan waktu. Ia tidak bisa dijelaskan, tapi ia bisa dialami. Dalam bahasa puitis, ia tersedia di sini di saat ini. Meminjam Lao Tzu: “ia yang mengerti tidak bicara, ia yang bicara tidak mengerti”. Selamat datang di rumah jiwa-jiwa yang indah.
(by Gde prama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar